Setelah raja Śri Kĕrtānegara gugur,
kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari
Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasāri, yaitu Raden Wijaya,
kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah
keturunan Ken Arok, raja Singhāsāri pertama dan anak dari Dyah Lěmbu
Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya.
Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Kĕrtanāgara
yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia
mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Nāgarakertāgama
menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Kěrtanāgara
dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasāri, Raden
Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara.
Kekalahan yang diderita Singhasāri menyebabkan Raden Wijaya mencari
perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh
dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala
Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan
di sana memperoleh perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang bupati di
pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat
kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian
ia diberi sebuah daerah di hutan Těrik untuk dibuka menjadi desa, dengan
dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai
Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru
yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian
memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap
almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya
Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden
Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja
Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun
1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan
untuk menghukum Singhasāri atas penghinaan yang pernah diterima
utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti
di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa
melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui
oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina
yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat
maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari.
Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000
tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur
untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak
mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan
menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200
pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk
menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan
tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan
oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit
menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa
Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan
Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya
melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya
cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya
kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing.
Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang
dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai
raja pertama dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Keempat anak
Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar Śri Parameśwari Dyah Dewi
Tribhūwaneśwari, Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā, Śri Jayendradewi
Dyah Dewi Prajnyāparamitā, dan Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari
Tribhūwaneśwari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara
sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia
memperoleh dua anak perempuan, Tribhūwanottunggadewi Jayawisnuwardhani
yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Rājadewi Mahārājasa di Daha.
Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal
dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya
yang diberi nama Kalagěmět. Seorang perempuan lain yang juga datang
bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja
bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian
hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di
Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil
diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Kěrtanāgara kepada raja
Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan.
Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, Śrimat Tribhūwanarāja
Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja
Singhasāri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah
tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309
digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan
ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh
pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya
mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan
menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai
musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan
Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian
ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk
menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian
muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada.
Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti,
padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal
raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi
dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi
di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri
kerajaan.
Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah
Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan
Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka
Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan
Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang
ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan
bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi
dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk
memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun
setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun
1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum
akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu.
Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti
atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak
terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389.
Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama
Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani
yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah
selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum
turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak
disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang
menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini
membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg.
Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus
melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita.
Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah.
Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan.
Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden
Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan
tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak
mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl
Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan
bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk
pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak
memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang
semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama
Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan
karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah
kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang
tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan
nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin
meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang
menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan
Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah
kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah
beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah,
pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia
menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang
pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah
maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan
penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja
Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur
yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari,
digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam
yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan
oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar