laman

Rabu, 15 Februari 2012

Sejarah dan Asal Usul kota Solo


    Dahulu kala, saat Indonesia masih dijajah bangsa eropa, terjadi perjanjian yang dinamakan PERJANJIAN GIYANTI yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 yang mana membelah kerajaan MATARAM menjadi dua, YOGYAKARTA dan SURAKARTA. Dengan demikian terpecah pula kekuasaaan politik, sosial, ekonomi dan pusat kebudayaan Jawa menjadi dua. Persaingan dendam kultural di antara dua belahan kerajaan itu masih tetap membekas sampai kurun waktu yang lama. Bahkan mungkin hingga saat ini, dimana keduanya sama – sama merupakan daerah yang tetap memiliki keraton.


Ketika nama Surakarta di deklarasikan oleh Pakoe Buwono 2,setidaknya ada tiga ciri sejarah pendeklarasian nama SALA (Dibaca Solo) menjadi SURAKARTA. Namun selama ini masyarakat luas lebih mengenal sebutan SOLO daripada nama resminya KOTAMADYA SURAKARTA, kota terbesar nomor dua di Jawa Tengah setelah Semarang, ini berkembang dari nama SALA yaitu sebuah desa yang dahulu penuh rawa.
DESA SALA sendiri dan sekitarnya mulai ramai dan berubah menjadi sebuah kota sejak 20 Februari 1745 (17 Suro 1745, yaitu sejak berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari KERATON KARTASURA ke SALA yang lantas dikenal dengan nama KERATON SURAKARTA HADININGRAT). Daerah yang digunakan sebagai tempat pusat pemerintahan yang baru ini disebut SALA, lantaran di desa ini waktu itu pernah hidup seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama KYAI SALA. Selain itu desa ini juga berawa-rawa dan penuh pohon sala yaitu pohon tom atau nila, namun ada juga yang menyebut pohon sala sejenis pohon pinus.
Kendati berangkat dari nama SALA yang dilafalkan dengan LEGENA seperti mengucapkan PONOROGO atau SITUBONDO, tetapi pada kenyataannya sampai sekarang masyarakat pada umumnya menyebut dengan SOLO dilafalkan dengan TALING TARUNG seperti mengucapkan TOKYO atau JAGO. Bukan hanya masyarakat luar kota namun warga dalam Kota Surakarta sendiri menyebut SOLO bahkan nama-nama yang menggambarkan identitas di daerah ini juga sangat mendukungnya. Taruhlah seperti TIMLO SOLO, PUTRI SOLO, LONTONG SOLO atau WONG SOLO.
Menurut para pini sepuh sebutan SALA menjadi SOLO katanya akibat kesalahan orang-orang EROPA dalam menyebut nama kota ini karena memang lidah mereka tidak seluwes lidah orang Indonesia. Bahkan orang BELANDA lebih parah lagi, mengucapkan SALA menjadi SOOLOO. bukan hanya orang asing saja tetapi sampai sekarang masyarakat Indonesia pada umumnya salah kaprah menyebut SOLO untuk SURAKARTA. Padahal usaha untuk lebih memasyarakatkan nama resminya yaitu SURAKARTA telah dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dalam peta bumi dan paket pariwisata tertulis dengan nama Surakarta. Tetapi rupanya KOTA SOLO lebih mudah dilafalkan orang daripada nama resminya sendiri. Penggunaan nama SOLO dalam pandangan marketing memang terdengar lebih akrab, lebih menjual, lebih mudah diingat dalam pengucapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar