Sejarah dan Asal Usul kota Solo

Dahulu kala, saat Indonesia masih
dijajah bangsa eropa, terjadi perjanjian yang dinamakan PERJANJIAN
GIYANTI yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 yang mana
membelah kerajaan MATARAM menjadi dua, YOGYAKARTA dan SURAKARTA. Dengan
demikian terpecah pula kekuasaaan politik, sosial, ekonomi dan pusat
kebudayaan Jawa menjadi dua. Persaingan dendam kultural di antara dua
belahan kerajaan itu masih tetap membekas sampai kurun waktu yang lama.
Bahkan mungkin hingga saat ini, dimana keduanya sama – sama merupakan
daerah yang tetap memiliki keraton.
Ketika nama Surakarta di deklarasikan oleh Pakoe Buwono
2,setidaknya ada tiga ciri sejarah pendeklarasian nama SALA (Dibaca
Solo) menjadi SURAKARTA. Namun selama ini masyarakat luas lebih mengenal
sebutan SOLO daripada nama resminya KOTAMADYA SURAKARTA, kota terbesar
nomor dua di Jawa Tengah setelah Semarang, ini berkembang dari nama SALA
yaitu sebuah desa yang dahulu penuh rawa.
DESA SALA sendiri dan sekitarnya mulai
ramai dan berubah menjadi sebuah kota sejak 20 Februari 1745 (17 Suro
1745, yaitu sejak berpindahnya pusat pemerintahan Mataram dari KERATON
KARTASURA ke SALA yang lantas dikenal dengan nama KERATON SURAKARTA
HADININGRAT). Daerah yang digunakan sebagai tempat pusat pemerintahan
yang baru ini disebut SALA, lantaran di desa ini waktu itu pernah hidup
seorang tokoh masyarakat yang bijaksana bernama KYAI SALA. Selain itu
desa ini juga berawa-rawa dan penuh pohon sala yaitu pohon tom atau
nila, namun ada juga yang menyebut pohon sala sejenis pohon pinus.
Kendati berangkat dari nama SALA yang
dilafalkan dengan LEGENA seperti mengucapkan PONOROGO atau SITUBONDO,
tetapi pada kenyataannya sampai sekarang masyarakat pada umumnya
menyebut dengan SOLO dilafalkan dengan TALING TARUNG seperti mengucapkan
TOKYO atau JAGO. Bukan hanya masyarakat luar kota namun warga dalam
Kota Surakarta sendiri menyebut SOLO bahkan nama-nama yang menggambarkan
identitas di daerah ini juga sangat mendukungnya. Taruhlah seperti
TIMLO SOLO, PUTRI SOLO, LONTONG SOLO atau WONG SOLO.
Menurut para pini sepuh sebutan SALA
menjadi SOLO katanya akibat kesalahan orang-orang EROPA dalam menyebut
nama kota ini karena memang lidah mereka tidak seluwes lidah orang
Indonesia. Bahkan orang BELANDA lebih parah lagi, mengucapkan SALA
menjadi SOOLOO. bukan hanya orang asing saja tetapi sampai sekarang
masyarakat Indonesia pada umumnya salah kaprah menyebut SOLO untuk
SURAKARTA. Padahal usaha untuk lebih memasyarakatkan nama resminya yaitu
SURAKARTA telah dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain dalam peta
bumi dan paket pariwisata tertulis dengan nama Surakarta. Tetapi
rupanya KOTA SOLO lebih mudah dilafalkan orang daripada nama resminya
sendiri. Penggunaan nama SOLO dalam pandangan marketing memang terdengar
lebih akrab, lebih menjual, lebih mudah diingat dalam pengucapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar