laman

Minggu, 20 Mei 2012

Karena Cinta Tidak Sekedar Kata

13291825601772327689
Cinta itu perlu diungkapkan, pastinya. Jika anda mencintai seseorang maka sudah sepantasnya anda mengatakan perasaan itu pada orang yang anda cintai. Masalah diterima atau ditolak itu urusan belakang. Lebih baik mengungkapkan dari pada menyesal akhirnya. Seperti lagunya Didi Kempot” tresnamu wis ketinggalan kreto, biyen-biyen aku rak wis kondo, duwe roso ojo mung disimpen..”

Sebagian orang mungkin saja malu mengungkapkan atau memang sengaja menjaga harga diri, “hah..soal cinta sampai aku harus mengemis rasa!”. Ya, semua memang kembali pada pribadi masing-masing. Rasa malu timbul karena tidak ada rasa percaya diri, melihat diri serba kekurangan, dan menganggap yang dicintai itu lebih darinya. Ini masalah gawat, karena jika rasa ini terus menggelayuti pemikirannya, kapan dia laku? Mungkin jalan terbaik untuknya adalah menunggu keputusan takdir. Ngenes.
Menjaga harga diri sehingga tidak mau mengungkapkan perasaannya sama saja munafiknya. Apalagi akalu dibarengi embel-embel “mengemis cinta”. mengungkapkan rasa beda lagi dengan mengemis. Mengemis itu lebih merendahkan harga diri sedangkan mengungkap adalah belajar untuk tidak membohongi diri sendiri. perasaan itu lebih berarti dari pada dunia seisinya, boleh percaya boleh tidak. Bukankah sekarang ini banyak yang menderita akibat perasaannya? Banyak yang stress karena memendam uneg-ungenya. Cobalah sesekali berkata jujur selaras dengan isi hati, bukan keinginan.
Kapan kata cinta digunakan, tak ada ketentuan pasti, kemungkinan besar semenjak Adam mengenal Hawa. Kata cinta telah dipakai semau orang, semua kalangan. Tidak peduli siapa dia, apa status sosialnya, anak raja atau hanya rakyat jelata. Semua punya hak sama untuk menggunakan kata “cinta”. cinta itu fitah manusia, bukan rekayasa. Bukan pula hasil pinjaman.
Ibnu Arabi mengungkapkan tentang cinta dengan menarik “dari cinta kita berasal dan atas nama cinta Dia menciptakan kita. Karena tujuan cinta, kita mendatangi-Nya dan demi cinta pula kita menghadap-Nya”. Menurut Ibnu Arabi, cinta merupakan niat awal yang mendasari Tuhan menciptakan manusia. Hal ini setidaknya sejalan dengan Hadis Qudsi yang mengatakan bahwa “Aku adalah “kanzun makhfiyan”, kemudian Aku ingin dikenal, maka aku ciptakan makhluk…”. sedangkan, Jalaludin Rumi sering menggunakan kata cinta dalam puisi-puisinya, bahkan evolusi manusia didasari cinta, hal yang membedakan dengan teori evolusinya Darwin.
Cinta itu kekuatan sekaligus penegasan eksistensi diri. Tanpa cinta, masihkah kita dinamakan manusia? Cinta melandasi kasih sayang antar sesama makhluk. Jika anda kehilangan rasa cinta, maka segeralah berdo’a kepada Tuhan Anda, meminta untuk diberikan rasa cinta. jika Descartes sebab “berpikir maka aku ada”, maka Iqbal mengungkapkan “aku ragu ada dan tiadaku. Namun cinta mengumumkan : aku ada!”.
Cinta bukan sekedar kata
Mengungkapakan cinta memang perlu, tetapi jika hanya terus-terusan mengungkapkan saja lama-lama jenuh juga mendengarnya. Bisa-bisa malah dianggap raja gombal saja. cinta itu perlu pembuktian. Apa bukti cinta Anda pada si dia?
Setiap orang punya caranya untuk membuktikan cintanya. Namun, membuktikan cinta sepertinya tidak lepas dari konteks zaman yang membungkusnya. Selain itu, seberapa dalam makna cinta yang dia pahami.
Di zaman sekarang, di saat cinta bagaikan kecambah di musim hujan, makna cinta malah semakin jauh dari akarnya. Seringkali “cinta” menjadi terudusir maknanya ketika dikaitkan dengan ketertarikan antara dua lawan jenis yang kemudian dilembagakan menjadi hubungan pacaran. Maka maknanya cinta pun menjadi miopik saat seseorang dengan mudah mengatakan : “aku cinta padamu. “apalagi, “cinta” itu pun dengan mudah pula bertransformasi menjadi benci dan dendam saat keinginan untuk menjadikan pacar tidak terpenuhi. (A. Ridha, 2003: 3)
14 Februari, dikenal dengan hari valentin, hari kasih sayang. Ada yang mengatakan inilah hari yang cocok, sangat dianjurkan untuk mengatakan cinta serta membuktikannya. Apa referensinya dan bagaiman sejarahnya mungkin pembaca sudah mahfum dengan pernak-pernik valentin. Kalau kita simak di media massa, entah cetak maupun elektronik, masalah valentin sebenarnya terpolarisasi: ada yang getol menentangnya dan ada yang getol mengiklankannya.
Valentin seolah hari rayanya orang-orang berpacaran. Seperti halnya hari-hari besar lainnya, valentin seakan-akan harus diperingati semeriah mungkin, dipestakan sampai teler. Pernak-pernak valentin bermunculan: cokelat, warna pink, bunga dan barang-barang lainnya. Meski pengguna barang-barang tersebut tidak pernah tahu sejarahnya, tidak pernah tahu filosofisnya. Dan ini bukan menjadi rahasia umum, kalau genarasi sekarang memang tidak mau lelah dengan berpikir secara mendalam. asal bisa beli untuk apa susah-susah mikir.
Valentin, kalau memang benar awal mula sebagai hari raya agama tertentu, kini menghadapi ekspansi kapitalisme. Iklan produk cokelat, penginapan, tempat pesta, sovenir lebih marak bermunculan di hari 14 februari. Kapitalisme bagaikan iblis baru, tidak peduli entah itu agama atau tidak asal bisa diraih untungnya akan disasar. Jangan heran kalau hari-hari raya keagamaan pun sekarang ini lebih meriah dengan penawaran iklan liburannya, bukan kekhusyu’kan ibadahnya. Sehari merayakan hari raya, hari berikutnya tempat-tempat liburan akan dipadati pengunjung yang notabenenya baru kemarin khusyu’ menghadap Tuhan.
Begitu pula dengan valentin: apakah dengan cokelat itu menjadi wakil cinta? apakah dengan bunga, cinta semakin mantap? Dan pertanyaan yang lebih tragis: cokelat, warna pink, dibaliknya ada kondom, itu artinya apa? inikah cinta? hati-hati dengan cinta anda, karena cinta adalah mahkota. Cinta memang perlu dibuktikan tetapi pembuktian itu harus dengan cara yang terpuji, selaras dengan kasih sayang itu sendiri. berpikirlah sebelum melakukan. Penyesalan tidak akan mengembalikan keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar