Cinta
itu perlu diungkapkan, pastinya. Jika anda mencintai seseorang maka
sudah sepantasnya anda mengatakan perasaan itu pada orang yang anda
cintai. Masalah diterima atau ditolak itu urusan belakang. Lebih baik
mengungkapkan dari pada menyesal akhirnya. Seperti lagunya Didi Kempot” tresnamu wis ketinggalan kreto, biyen-biyen aku rak wis kondo, duwe roso ojo mung disimpen..”
Sebagian
orang mungkin saja malu mengungkapkan atau memang sengaja menjaga harga
diri, “hah..soal cinta sampai aku harus mengemis rasa!”. Ya, semua
memang kembali pada pribadi masing-masing. Rasa malu timbul karena tidak
ada rasa percaya diri, melihat diri serba kekurangan, dan menganggap
yang dicintai itu lebih darinya. Ini masalah gawat, karena jika rasa ini
terus menggelayuti pemikirannya, kapan dia laku? Mungkin jalan terbaik
untuknya adalah menunggu keputusan takdir. Ngenes.
Menjaga
harga diri sehingga tidak mau mengungkapkan perasaannya sama saja
munafiknya. Apalagi akalu dibarengi embel-embel “mengemis cinta”.
mengungkapkan rasa beda lagi dengan mengemis. Mengemis itu lebih
merendahkan harga diri sedangkan mengungkap adalah belajar untuk tidak
membohongi diri sendiri. perasaan itu lebih berarti dari pada dunia
seisinya, boleh percaya boleh tidak. Bukankah sekarang ini banyak yang
menderita akibat perasaannya? Banyak yang stress karena memendam
uneg-ungenya. Cobalah sesekali berkata jujur selaras dengan isi hati,
bukan keinginan.
Kapan
kata cinta digunakan, tak ada ketentuan pasti, kemungkinan besar
semenjak Adam mengenal Hawa. Kata cinta telah dipakai semau orang, semua
kalangan. Tidak peduli siapa dia, apa status sosialnya, anak raja atau
hanya rakyat jelata. Semua punya hak sama untuk menggunakan kata
“cinta”. cinta itu fitah manusia, bukan rekayasa. Bukan pula hasil
pinjaman.
Ibnu
Arabi mengungkapkan tentang cinta dengan menarik “dari cinta kita
berasal dan atas nama cinta Dia menciptakan kita. Karena tujuan cinta,
kita mendatangi-Nya dan demi cinta pula kita menghadap-Nya”. Menurut
Ibnu Arabi, cinta merupakan niat awal yang mendasari Tuhan menciptakan
manusia. Hal ini setidaknya sejalan dengan Hadis Qudsi yang mengatakan
bahwa “Aku adalah “kanzun makhfiyan”, kemudian Aku ingin
dikenal, maka aku ciptakan makhluk…”. sedangkan, Jalaludin Rumi sering
menggunakan kata cinta dalam puisi-puisinya, bahkan evolusi manusia
didasari cinta, hal yang membedakan dengan teori evolusinya Darwin.
Cinta
itu kekuatan sekaligus penegasan eksistensi diri. Tanpa cinta, masihkah
kita dinamakan manusia? Cinta melandasi kasih sayang antar sesama
makhluk. Jika anda kehilangan rasa cinta, maka segeralah berdo’a kepada
Tuhan Anda, meminta untuk diberikan rasa cinta. jika Descartes sebab
“berpikir maka aku ada”, maka Iqbal mengungkapkan “aku ragu ada dan
tiadaku. Namun cinta mengumumkan : aku ada!”.
Cinta bukan sekedar kata
Mengungkapakan cinta memang perlu, tetapi jika hanya terus-terusan mengungkapkan saja lama-lama jenuh
juga mendengarnya. Bisa-bisa malah dianggap raja gombal saja. cinta itu
perlu pembuktian. Apa bukti cinta Anda pada si dia?
Setiap
orang punya caranya untuk membuktikan cintanya. Namun, membuktikan
cinta sepertinya tidak lepas dari konteks zaman yang membungkusnya.
Selain itu, seberapa dalam makna cinta yang dia pahami.
Di
zaman sekarang, di saat cinta bagaikan kecambah di musim hujan, makna
cinta malah semakin jauh dari akarnya. Seringkali “cinta” menjadi
terudusir maknanya ketika dikaitkan dengan ketertarikan antara dua lawan
jenis yang kemudian dilembagakan menjadi hubungan pacaran. Maka
maknanya cinta pun menjadi miopik saat seseorang dengan mudah mengatakan
: “aku cinta padamu. “apalagi, “cinta” itu pun dengan mudah pula
bertransformasi menjadi benci dan dendam saat keinginan untuk menjadikan
pacar tidak terpenuhi. (A. Ridha, 2003: 3)
14
Februari, dikenal dengan hari valentin, hari kasih sayang. Ada yang
mengatakan inilah hari yang cocok, sangat dianjurkan untuk mengatakan
cinta serta membuktikannya. Apa referensinya dan bagaiman sejarahnya
mungkin pembaca sudah mahfum dengan pernak-pernik valentin. Kalau kita
simak di media massa, entah cetak maupun elektronik, masalah valentin
sebenarnya terpolarisasi: ada yang getol menentangnya dan ada yang getol
mengiklankannya.
Valentin
seolah hari rayanya orang-orang berpacaran. Seperti halnya hari-hari
besar lainnya, valentin seakan-akan harus diperingati semeriah mungkin,
dipestakan sampai teler. Pernak-pernak valentin bermunculan: cokelat,
warna pink, bunga dan barang-barang lainnya. Meski pengguna
barang-barang tersebut tidak pernah tahu sejarahnya, tidak pernah tahu
filosofisnya. Dan ini bukan menjadi rahasia umum, kalau genarasi
sekarang memang tidak mau lelah dengan berpikir secara mendalam. asal
bisa beli untuk apa susah-susah mikir.
Valentin,
kalau memang benar awal mula sebagai hari raya agama tertentu, kini
menghadapi ekspansi kapitalisme. Iklan produk cokelat, penginapan,
tempat pesta, sovenir lebih marak bermunculan di hari 14 februari.
Kapitalisme bagaikan iblis baru, tidak peduli entah itu agama atau tidak
asal bisa diraih untungnya akan disasar. Jangan heran kalau hari-hari
raya keagamaan pun sekarang ini lebih meriah dengan penawaran iklan
liburannya, bukan kekhusyu’kan ibadahnya. Sehari merayakan hari raya,
hari berikutnya tempat-tempat liburan akan dipadati pengunjung yang
notabenenya baru kemarin khusyu’ menghadap Tuhan.
Begitu
pula dengan valentin: apakah dengan cokelat itu menjadi wakil cinta?
apakah dengan bunga, cinta semakin mantap? Dan pertanyaan yang lebih
tragis: cokelat, warna pink, dibaliknya ada kondom, itu artinya apa?
inikah cinta? hati-hati dengan cinta anda, karena cinta adalah mahkota.
Cinta memang perlu dibuktikan tetapi pembuktian itu harus dengan cara
yang terpuji, selaras dengan kasih sayang itu sendiri. berpikirlah
sebelum melakukan. Penyesalan tidak akan mengembalikan keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar